Seringkali aku meluangkan waktu dan menyudutkan diri pada ruang yang sepi membaca beberapa artikel dan berita soal hiruk pikuk Indonesia masa pemilu ini. Aku berusaha membaca hingga tuntas, para pendamba capres dan cawapres saling menjajakan kelebihan dambaannya dan mengulas sisi buruk lawannya. Sebuah kewajaran dan manusiawi. Menurutku itu tidak salah. Menjadi salah ketika suatu hubungan personal tiba-tiba menjadi buruk akibat perdebatan argumen tentang masing-masing dambaannya itu. Sungguh disayangkan. Tanggal 9 Juli 2014 nanti masing-masing dari kita berhak memilih salah satu dari calon terpilih dan siapa pun yang menjabat toh kita tetap menjadi Warga Negara Indonesia. Artinya, apakah setelah capres dambaan kalah, kemudian para pendukungnya merubah kewarganegaraannya? Mau gak mau kan tetap ikuti kebijakan yang menang.

Perubahan hubungan yang terancam renggang hingga menjadi rengagang akibat perdebatan capres dan cawapres beberapa kali mampir di telingaku. Tadi pagi sekitar pukul setengah delapan, tidurku yang nyenyak terbagun akibat bunyi penanda pesan whatsapp dari sahabatku di kota kelahiranku sana. Pesannya menunjukkan screen shoot percakapannya dengan sang dosen. Dia mendapat teguran begini “S (menyebut nama), sikap dan preferensi politik seharusnya lahir dari conscienceness bukan latah krn media yg partisipan. Jng bikin aku menyesal pernah punya murid pinter spt kamu yah.. 🙂 ” Yups, kurang lebih dia mencurhatkan begitu. Awalnya aku hendak marah karena dia memaksaku untuk berpikir seketika membuka mata, tapi aku justru tertawa membaca rentetan pesan penjelas berikutnya. Temanku yang pintar dan cerdas dibidang pollitik ini kadang memang sembrono dalam memberikan pernyataannya. Sebagai sahabat aku hanya berkata “Seharusnya kamu lebih pandai dariku soal beginiaan. Pilihan itu hak asasi, tapi bukan berarti mendukung itu harus sebar link apalagi black campaign  rawan ada di dalamnya, yowis ra popo ge belajar. ” jawabku.

Temanku sungguh kebingungan dengan kejadian ini. Pasalanya dosen tersebut yang memberikan rekomendasi untuknya menjadi dosen. Hahahaha lebih lebar aku tertawa. “Aku kadang juga risih, tapi sebisa mungkin aku tahan. Ini sudah menyangkut etika, Bu. Apalagi kamu hendak menjadi dosen. Pembawaanmu soal keberpihakan politik harus dijaga. Ngomongin politik boleh, menilai boleh tapi caranya yang elegan saja. Pasti kamu tahu bagaimana caranya.” Cerocosku lewat barisan huruf.

Dia masih belum usai menulis pesan untukku, di luar dugaan dia melibatkanku dan serta merta menulis “Koe Prabowo yo. Tentara pilih tentara

Hahahahaha aku pun tertawa tak henti.

“Itu klasik. Sekolah tinggi masih ikut tradisi tanpa berpikir cerdas itu BODOH. Aku mendukung keduanya tapi aku punya pilihan yang harus kugunakan untuk salah satu dari keduanya. Aku menjaga etika kerja, soalnya aku berhubungan dengan publik langsung. Siaran, memandu acara, diskusi publik jadi harus netral seperti dalam keluarga.” Dia sangat mengenal keluargaku. Aku dilahirkan dalam keluarga militer, tapi mungkin ia lupa siapa sahabatnya ini yang memiliki kebebasan berpikir dan pendapat seperti yang diatur dalam perundangan, hahahaha.

Sahabat kata, menyimpan pilihan itu alangkah lebih baik jika kita tidak mampu memberikan kesembingan dan cenderung memberikan potensi pertentangan jika melakukan kampanye.